Categories

Rabu, 13 Oktober 2010

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI ISLAM



I.         PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang kompleks dan luas, di dalamnya banyak hukum dan aturan tentang persoalan fiqih, pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya. Bagi umat Islam khususnya, perlu mengkaji Islam dengan memahaminya secara benar. Namun untuk memahami Islam tidak bisa dilakukan hanya dari satu aspek saja, melainkan setiap aspek perlu dikaji dengan metode yang tepat dan pendekatan relevan. Dengan hal itu, tujuan tentang Metodologi Studi Islam (MSI) dapat tercapai dengan kembali tergalinya hakekat agama Islam, sehingga akan dapat digunakan sebagai analisis terhadap kemacetan atau penyimpangan akal pikiran dan budaya manusiawi serta ajaran Islam sekaligus.
MSI dapat memberikan kontribusinya terhadap kesejahteraan umat muslim di seluruh dunia. Umat muslim yang telah diberikan anugerah oleh Allah berupa potensi-potensi semestinya dapat menjadi manusia yang maju intelektual tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai umat Islam. MSI memiliki peran yang strategis dalam menguak kebenaran ajaran-ajaran agama dan mendorong umat muslim untuk menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kini saatnya MSI menjadi pencerah dalam pelita bagi segala kegelapan dalam menggali mutiara Islam. MSI menjadi kunci pembuka terkuaknya harta karun Islam yang akan membawa kemajuan Islam dan seluruh umatnya di dunia ini.

II.      RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, pemakalah akan mencoba menguraikan pokok-pokok permasalahan diantaranya:
A.       Pengertian Studi Islam
B.       Urgensi Pentingnya Studi Islam
C.       Studi Islam dalam Konteks Sosial dan Budaya
D.       Perkembangan Studi Islam di Indonesia
E.        Studi Islam di Berbagai Perguruan Tinggi di Dunia
III.   PEMBAHASAN
A.       Pengertian Studi Islam
Secara bahasa, studi artinya pembelajaran atau pengkajian terhadap sesuatu. Sedangkan Islam, dalam ruang lingkup Studi Islam berarti hal – hal yang terkait dengan ajaran Islam, praktek masyarakat Islam, serta hasil pemikiran umat Islam.
Dalam buku-buku dan jurnal-jurnal keislaman biasa dipergunakan term studi Islam untuk mengungkapkan beberapa maksud. Pertama, studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program pengakajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya. Kedua, studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang dan kurikulum suatu kajian atas Islam. Ketiga, studi Islam yang dikonotasikan dengan instuisi-instuisi pengkajian Islam baik formal maupun yang non formal. Jadi term ”studi Islam” berarti sangat luas, dan ketiga jenis pengertian tersebut bisa dipergunakan dikalangan akademis secara free (bebas).[1]
Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan empirik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat kategori ilmu yakni:
Ø      Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah panca indera, terutama mata.
Ø      Rational Science, ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab-akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rasional. Sumbernya adalah ratio, maka disebutlah ilmu yaqin.
Ø      Supranatural Science, ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yakin.
Ø      Matarationa Science, adalah Ilmu Ghaib, Sumbernya adalah ruh. Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katagori Empirical Science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap kurang rasional dipaksakan harus rasional, maka terjadilah rasionalisasi Al-Qur’an.[2]

B.       Urgensi Terhadap Studi Islam
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa-bangsa, yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, nampaknya studi tentang Islam menjadi sangat penting dan pendapatkan perhatian yang sangat luas, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di kalangan luar Islam.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang ada di lingkungan umat Islam telah kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandeg, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai rahmatan li al-‘alamin. Sementara nilai-nilai dan sistem budaya umat manusia di luar lingkungan umat Islam pada umumnya telah didominasi oleh nilai-nilai dan sistem budaya modern, dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang semakin canggih serta sifatnya yang sekuler.
Studi Islam merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider (non-muslim). Salah satu penyebab seringnya Islam disalahpahami Barat adalah karena mereka tidak memiliki instrumen yang secara ilmiah bisa dibenarkan oleh, tidak hanya, insider (muslim) tapi juga oleh outsider. Bila insider tidak merumuskan pemahaman yang bisa dimengerti oleh outsider, maka kecelakaan pemahaman oleh outsider akan terus berlangsung seperti yang dialami oleh Salman Rushdie, Kurt Wertergaard (koran Jyllands-Posten, Denmark), dan Geertz Wilders (Belanda) yang menghebohkan itu.
Studi Islam harus bisa mengantarkan para penggunannya, baik ia muslim maupum non-muslim, untuk mencapai common ground tentang gambaran Islam yang sesungguhnya. Memang ini sulit, karena ada dua kendala. (1). Bagi outsider agar bisa memahami rasa agama insider membutuhkan simpati bahkan empati yang tulus. Ini butuh perjuangan tersendiri bagi mereka, karena kerak-kerak distorsi informasi tentang Islam begitu tebal terutama di kalangan media massa Barat. (2). Di kalangan insider sendiri ternyata tidak dijumpai gambaran yang tunggal tentang Islam. Ini tentu menyulitkan outsider untuk mencari rujukan yang valid tentang Islam.[3]
Untuk mengatasi dua kendala itu, maka keterbukaan pikiran (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam baik insider maupun outsider dan seringnya dialog antara outsider-insider maupun insider-outsider sangat penting. Keterbukaan dan dialog akan membantu tercapainya kesepahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji Islam.[4]

C.       Studi Islam dalam Konteks Sosial dan Budaya
a)    Konteks Sosial
Kaitannya dengan konteks sosial, tidak lepas dari kata sosiologi. Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.[5]
Banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.[6]
Sebagai contoh penelitian agama sebagai gejala sosial adalah sebuah penelitian yang berjudul “Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan dimana orang-orang Islam, Orang-orang Towano Tolitang, dan orang-orang Tolitang benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan.
Penelitian itu menemukan, bahwa konflik antara ketiga kelompok itu bermula dari soal keagamaan kemudian bertambah intensitas dan kompleksitasnya setelah kemasukan unsur politik. Berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.[7]
b)   Konteks Budaya
Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampak dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang[8]
Selain di bidang fiqih, ada pula contoh lain yaitu di bidang sejarah. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai siapa orang pertama dari sahabat Nabi yang masuk Islam. Ada yang mengatakan Khadijah, ada yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, ada yang berpendapat Abu Bakar Sidiq, dan ada pula yang menunjuk Zaid bin Haritsah. Sumber sejarah yang berjudul Sirah al-Nabi, karya Abdul Malik bin Hisyam (atau terkenal dengan Ibnu Hisyam) yang ditulis pada abad ke-8 H. Dalam buku ini dikatakan bahwa sahabat pertama yang masuk Islam ialah Ali bin Abi Thalib, tanpa menyebut-nyebut nama Siti Khadijah.[9]

D.      Perkembangan Studi Islam di Indonesia
Setidaknya ada tiga versi yang sering menjadi rujukan utama penulisan tentang perkembangan Islam di Indonesia.
Versi pertama menyebutkan, bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari Persia sekitar abad ke-13 Masehi. Wilayah Samudra Pasai, diyakini sebagai tempat pijakan pertama. Menurut versi ini, adanya kesamaan tradisi beberapa kelompok masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat Persia, adalah bukti kuat pengaruh Persia dalam Islam Indonesia. Sebut saja, misalnya, peringatan Suro, yang dilakukan pada setiap tanggal 10 Muharram, dan tradisi Tabut, yang dilakukan oleh sebagian penduduk Sumatra Barat, merupakan tradisi yang persis dilakukan masyarakat Iran untuk memperingati meninggalnya Sayyidina Husain. Lebih dari itu, ada beberapa bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa penduduk Pasai, seperti, Jabar dari Zabar dan Jer dari Ze-er.
Sedang menurut versi kedua, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-12 atau permulaan abad ke-13 Masehi. Pada masa ini, Islam dibawa oleh para pedagang anak benua India yang berasal dari Gujarat, Malabar, dan Bengali. Versi ini dijelaskan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, yang kemudian dianut oleh Snouck Hurgronje.
Berbeda dengan dua versi di atas, versi ketiga menyebutkan bahwa Islam Datang ke Indonesia pada awal abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan langsung dari Arab.[10]
Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah para pedagang muslim dalam jalur perdagangan yang damai; kedua melalui dakwah para da’i  dan orang-orang suci yang datang dari India atau Arab yang sengaja ingin mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasaan atau peperangan dengan negara-negara penyembah berhala (H.J. de Graaf dalam Azyumardi Azra (ed.), 1989: 2)[11]
Salah satu tradisi belajar yang dikembangkan ketika itu adalah pengembaraan intelektual: guru dan kebanyakan murid-murid menuntut ilmu dan mengembara dari satu surau ke surau lain atau dari satu pesantren ke pesantren lain untuk meningkatkan pengetahuan keislamannya. Mereka mengembara bukan hanya di sekitar Asia Tenggara, tetapi juga sangat mungkin ke India, Mekah, Madinah, dan Kairo atau tempat-tempat lain di Timur Tengah (Azyumardi Azra (ed.), 1989: xv-vi)
Salah satu perkembangan intelektual yang cukup menarik adalah dimulainya tradisi menulis. Kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu diantaranya kitab  Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Arraniri (1685) dari Aceh. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dari Kalimantan Selatan menjadi kitab Sabil al-Muhtadin. Kitab Sabil al-Muhtadin ini kemudian diberi syarah kembali oleh Daud al-Fatani (1847) dari Thailand dan diberi nama Bughyatat-Thullab. (Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, 1984 20)[12]

E.       Studi Islam di Berbagai Perguruan Tinggi di Dunia
Di Indonesia ada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) selain Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS). Ada fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Ada juga Fakultas Agama di Universitas umum. Di dalam fakultas Adab ada Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Di dalam Fakultas Dakwah ada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Manajemen Dakwah, Bimbingan dan Penyuluhan, dan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Di dalam Fakultas Syari’ah ada Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyah), Siyasah dan Jinayat, Perbandingan Madzhab dan Hukum serta Jurusan Muamalat. Dalam Fakultas Tarbiyah ada Jurusan Pendidikan Agama Islam, Kependidikan Islam dan Bahasa Arab. Dalam Fakultas Ushuluddin terdapat Jurusan Tafsir Hadis, Perbandingan Agama, dan Aqidah dan Filsafat. Itulah bentuk-bentuk pengorganisasian Studi Islam yang ada sekarang di Indonesia.[13]
Kalau kita lihat, pengorganisasian studi Islam di negeri-negeri Islam lain juga ada variasi. Di Universitas Teheran, ada ruangan khusus yang menyimpan naskah-naskah kuno, yang ditulis oleh para pemikir klasik dan ditulis dalam bahasa Persia. Di universitas ini studu Islam dlakukan dalam satu fakultas yang disebut Kulliyat Ilahiyat (Fakultas Agama). Di Teheran juga ada universitas Imam Sadiq yang mempelajari Islam dan Ilmu umum sekaligus.
Di Universitas Damaskus, Syria, yang memiliki banyak fakultas umum, studi Islam ditampung dalam Kulliatal-Syari’ah (Fakultas Syari’ah), yang di dalamnya ada program studi ushuluddin, tasawuf, tafsir dan sejenisnya.
Di Aligarch University, India, studi Islam dibagi dua. Islam sebagai doktrin dikaji dalam Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan: Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Syi’ah. Sedangkan Islam sebagai sejarah dikaji pada Fakultas Humaniora dalam Jurusan Islamic Studies yang berdiri sejajar dengan Jurusan Politik.
Di Universitas Islam Internasional Malaysia, program studi Islam berada di bawah Kulliyah of Revealed Knowledge and Human Sciences (Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu Kemanusiaan).
Al-Azhar sampai tahun 1961 memiliki fakultas-fakultas seperti yang dimiliki IAIN. Setelah 1961, al-Azhar tidak lagi membatasi diri pada fakultas-fakultas agama, tetapi juga membuka fakultas-fakultas lain. Al-Azhar, disamping ada di Kairo, juga ada di daerah-daerah dan mempunyai program khusus untuk wanita dan laki-laki.[14]
Studi Islam di negeri-negeri non-Islam ada sedikit variasi. Di Chicago University, misalnya, studi Islam menekankan pada pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam non-Arab. Secara organisatoris, studi itu berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat. Di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya memang menekankan pada studi sejarah Islam, bahsa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, berada dibawah Pusat Studi Timur Tengah Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi kepada empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran Islam. Kedua, bahasa Arab, termasuk teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non-Arab yang muslim, seperti Turki, Urdu, Persia dan sebagainya, sebagai bahasa yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam. Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah, bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi dan semacamnya. Selain itu, ada kewajiban menguasai secara pasif satu atau dua bahasa Eropa.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies, fakultas mengenai studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program studi di dalamnya adalah program MA tentang masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke jenjang doktor.
Di Kanada, studi Islam bertujuan: pertama, menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer; kedua, memahami ajaran Islam dan masyarakat muslim di seluruh dunia; ketiga, mempelajari berbagai bahasa muslim seperti bahasa Persia, Urdu dan Turki.[15]



IV.    KESIMPULAN
Islam, tidak lepas dari figur masyarakat dan didalam masyarakatlah terdapat intereksi sosial yang melahirkan suatu budaya. Konsep pemahaman tentang Islam belum menemui titik temu antara insider dan outsider, oleh karena itu muncullah usaha untuk mempelajari dan mengkaji Islam lebih jauh yang kita kenal dengan Studi Islam.
Term Studi Islam berarti sangat luas, pengertian tersebut bisa dipergunakan dikalangan akademis secara free (bebas). Dalam uraian diatas terdapat tiga poin penting tentang Studi Islam, Pertama, studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program pengakajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya. Kedua, studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang dan kurikulum suatu kajian atas Islam. Ketiga, studi Islam yang dikonotasikan dengan instuisi-instuisi pengkajian Islam baik formal maupun yang non formal.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa-bangsa, yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, nampaknya studi tentang Islam menjadi sangat penting dan pendapatkan perhatian yang sangat luas, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di kalangan luar Islam. Urgensi studi Islam pada masa sekarang paling tidak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada di lingkungan umat Islam sendiri; sedangkan sisi eksternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya di luar kalangan umat Islam.
Studi Islam merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider (non-muslim). Salah satu penyebab seringnya Islam disalahpahami Barat adalah karena mereka tidak memiliki instrumen yang secara ilmiah bisa dibenarkan oleh, tidak hanya, insider (muslim) tapi juga oleh outsider. Keterbukaan pikiran (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam baik insider maupun outsider dan seringnya dialog antara outsider-insider maupun insider-outsider sangat penting. Keterbukaan dan dialog akan membantu tercapainya kesepahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji Islam.
Bergelut dengan Studi Islam, sama juga bergelut dengan situasi Sosial dan Budaya yang apabila dirunut lebih dalam termasuk dalam aspek sejarah. Kaitannya dengan aspek sosial, tidak lepas dari kata sosiologi. Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampak dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran.
Perkembangan Studi Islam di Indonesia bermula ketika Islam pertama kali memasuki wilayah Nusantara dengan berbagai tahapnya. Salah satu tradisi belajar yang dikembangkan ketika itu adalah pengembaraan intelektual: guru dan kebanyakan murid-murid menuntut ilmu dan mengembara dari satu surau ke surau lain atau dari satu pesantren ke pesantren lain untuk meningkatkan pengetahuan keislamannya. Dan salah satu perkembangan intelektual yang cukup menarik adalah dimulainya tradisi menulis.

V.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, sebagai insan yang banyak kekurangan, penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu tegur sapa dan kritik membangun menyangkut cara pembuatan makalah, saran dan masukan yang konstruktif sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir dari harapan penulis, semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya  untuk kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Fanani, Muhyar. 2008. Metode Studi Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Hayah, Ani (et.al.). 2010. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Metodologi Studi Islam. Semarang. Makalah Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin. 2008. Metodologi Studi Islam. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Thohir, Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.


[1] Ani Hayah, dkk., Pengertian dan Sejarah Perkembangan Metodologi Studi Islam, Makalah Metodologi Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Semarang, 2010, hlm.2
[2] Ibid, hlm.4
[3] Dr. Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. xiii
[4] Ibid, hlm. xiii-xiv
[5] Prof. Dr. H. Abudinn Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 39
[6] Ibid, hlm. 40
[7] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.57-58
[8] Prof. Dr. H. Abudinn Nata, M.A., Op.Cit, hlm. 49-50
[9] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Op.Cit, hlm. 38. Lebih lanjut baca “Pendekatan Studi Islam”, halaman 38-44.
[10] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 394-395.
[11] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A., dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 169
[12] Ibid, hlm. 170
[13] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Loc.Cit, hlm. 24
[14] Ibid, hlm. 27-28
[15] Ibid, hlm. 24-25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments