Categories

Rabu, 13 Oktober 2010

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP STUDI ISLAM



I.         PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang kompleks dan luas, di dalamnya banyak hukum dan aturan tentang persoalan fiqih, pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya. Bagi umat Islam khususnya, perlu mengkaji Islam dengan memahaminya secara benar. Namun untuk memahami Islam tidak bisa dilakukan hanya dari satu aspek saja, melainkan setiap aspek perlu dikaji dengan metode yang tepat dan pendekatan relevan. Dengan hal itu, tujuan tentang Metodologi Studi Islam (MSI) dapat tercapai dengan kembali tergalinya hakekat agama Islam, sehingga akan dapat digunakan sebagai analisis terhadap kemacetan atau penyimpangan akal pikiran dan budaya manusiawi serta ajaran Islam sekaligus.
MSI dapat memberikan kontribusinya terhadap kesejahteraan umat muslim di seluruh dunia. Umat muslim yang telah diberikan anugerah oleh Allah berupa potensi-potensi semestinya dapat menjadi manusia yang maju intelektual tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai umat Islam. MSI memiliki peran yang strategis dalam menguak kebenaran ajaran-ajaran agama dan mendorong umat muslim untuk menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kini saatnya MSI menjadi pencerah dalam pelita bagi segala kegelapan dalam menggali mutiara Islam. MSI menjadi kunci pembuka terkuaknya harta karun Islam yang akan membawa kemajuan Islam dan seluruh umatnya di dunia ini.

II.      RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, pemakalah akan mencoba menguraikan pokok-pokok permasalahan diantaranya:
A.       Pengertian Studi Islam
B.       Urgensi Pentingnya Studi Islam
C.       Studi Islam dalam Konteks Sosial dan Budaya
D.       Perkembangan Studi Islam di Indonesia
E.        Studi Islam di Berbagai Perguruan Tinggi di Dunia
III.   PEMBAHASAN
A.       Pengertian Studi Islam
Secara bahasa, studi artinya pembelajaran atau pengkajian terhadap sesuatu. Sedangkan Islam, dalam ruang lingkup Studi Islam berarti hal – hal yang terkait dengan ajaran Islam, praktek masyarakat Islam, serta hasil pemikiran umat Islam.
Dalam buku-buku dan jurnal-jurnal keislaman biasa dipergunakan term studi Islam untuk mengungkapkan beberapa maksud. Pertama, studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program pengakajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya. Kedua, studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang dan kurikulum suatu kajian atas Islam. Ketiga, studi Islam yang dikonotasikan dengan instuisi-instuisi pengkajian Islam baik formal maupun yang non formal. Jadi term ”studi Islam” berarti sangat luas, dan ketiga jenis pengertian tersebut bisa dipergunakan dikalangan akademis secara free (bebas).[1]
Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan empirik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat kategori ilmu yakni:
Ø      Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah panca indera, terutama mata.
Ø      Rational Science, ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab-akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rasional. Sumbernya adalah ratio, maka disebutlah ilmu yaqin.
Ø      Supranatural Science, ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yakin.
Ø      Matarationa Science, adalah Ilmu Ghaib, Sumbernya adalah ruh. Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katagori Empirical Science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap kurang rasional dipaksakan harus rasional, maka terjadilah rasionalisasi Al-Qur’an.[2]

B.       Urgensi Terhadap Studi Islam
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa-bangsa, yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, nampaknya studi tentang Islam menjadi sangat penting dan pendapatkan perhatian yang sangat luas, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di kalangan luar Islam.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang ada di lingkungan umat Islam telah kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandeg, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai rahmatan li al-‘alamin. Sementara nilai-nilai dan sistem budaya umat manusia di luar lingkungan umat Islam pada umumnya telah didominasi oleh nilai-nilai dan sistem budaya modern, dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang semakin canggih serta sifatnya yang sekuler.
Studi Islam merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider (non-muslim). Salah satu penyebab seringnya Islam disalahpahami Barat adalah karena mereka tidak memiliki instrumen yang secara ilmiah bisa dibenarkan oleh, tidak hanya, insider (muslim) tapi juga oleh outsider. Bila insider tidak merumuskan pemahaman yang bisa dimengerti oleh outsider, maka kecelakaan pemahaman oleh outsider akan terus berlangsung seperti yang dialami oleh Salman Rushdie, Kurt Wertergaard (koran Jyllands-Posten, Denmark), dan Geertz Wilders (Belanda) yang menghebohkan itu.
Studi Islam harus bisa mengantarkan para penggunannya, baik ia muslim maupum non-muslim, untuk mencapai common ground tentang gambaran Islam yang sesungguhnya. Memang ini sulit, karena ada dua kendala. (1). Bagi outsider agar bisa memahami rasa agama insider membutuhkan simpati bahkan empati yang tulus. Ini butuh perjuangan tersendiri bagi mereka, karena kerak-kerak distorsi informasi tentang Islam begitu tebal terutama di kalangan media massa Barat. (2). Di kalangan insider sendiri ternyata tidak dijumpai gambaran yang tunggal tentang Islam. Ini tentu menyulitkan outsider untuk mencari rujukan yang valid tentang Islam.[3]
Untuk mengatasi dua kendala itu, maka keterbukaan pikiran (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam baik insider maupun outsider dan seringnya dialog antara outsider-insider maupun insider-outsider sangat penting. Keterbukaan dan dialog akan membantu tercapainya kesepahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji Islam.[4]

C.       Studi Islam dalam Konteks Sosial dan Budaya
a)    Konteks Sosial
Kaitannya dengan konteks sosial, tidak lepas dari kata sosiologi. Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.[5]
Banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.[6]
Sebagai contoh penelitian agama sebagai gejala sosial adalah sebuah penelitian yang berjudul “Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan dimana orang-orang Islam, Orang-orang Towano Tolitang, dan orang-orang Tolitang benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan.
Penelitian itu menemukan, bahwa konflik antara ketiga kelompok itu bermula dari soal keagamaan kemudian bertambah intensitas dan kompleksitasnya setelah kemasukan unsur politik. Berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.[7]
b)   Konteks Budaya
Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampak dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang[8]
Selain di bidang fiqih, ada pula contoh lain yaitu di bidang sejarah. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai siapa orang pertama dari sahabat Nabi yang masuk Islam. Ada yang mengatakan Khadijah, ada yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, ada yang berpendapat Abu Bakar Sidiq, dan ada pula yang menunjuk Zaid bin Haritsah. Sumber sejarah yang berjudul Sirah al-Nabi, karya Abdul Malik bin Hisyam (atau terkenal dengan Ibnu Hisyam) yang ditulis pada abad ke-8 H. Dalam buku ini dikatakan bahwa sahabat pertama yang masuk Islam ialah Ali bin Abi Thalib, tanpa menyebut-nyebut nama Siti Khadijah.[9]

D.      Perkembangan Studi Islam di Indonesia
Setidaknya ada tiga versi yang sering menjadi rujukan utama penulisan tentang perkembangan Islam di Indonesia.
Versi pertama menyebutkan, bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari Persia sekitar abad ke-13 Masehi. Wilayah Samudra Pasai, diyakini sebagai tempat pijakan pertama. Menurut versi ini, adanya kesamaan tradisi beberapa kelompok masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat Persia, adalah bukti kuat pengaruh Persia dalam Islam Indonesia. Sebut saja, misalnya, peringatan Suro, yang dilakukan pada setiap tanggal 10 Muharram, dan tradisi Tabut, yang dilakukan oleh sebagian penduduk Sumatra Barat, merupakan tradisi yang persis dilakukan masyarakat Iran untuk memperingati meninggalnya Sayyidina Husain. Lebih dari itu, ada beberapa bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa penduduk Pasai, seperti, Jabar dari Zabar dan Jer dari Ze-er.
Sedang menurut versi kedua, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-12 atau permulaan abad ke-13 Masehi. Pada masa ini, Islam dibawa oleh para pedagang anak benua India yang berasal dari Gujarat, Malabar, dan Bengali. Versi ini dijelaskan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, yang kemudian dianut oleh Snouck Hurgronje.
Berbeda dengan dua versi di atas, versi ketiga menyebutkan bahwa Islam Datang ke Indonesia pada awal abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan langsung dari Arab.[10]
Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah para pedagang muslim dalam jalur perdagangan yang damai; kedua melalui dakwah para da’i  dan orang-orang suci yang datang dari India atau Arab yang sengaja ingin mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasaan atau peperangan dengan negara-negara penyembah berhala (H.J. de Graaf dalam Azyumardi Azra (ed.), 1989: 2)[11]
Salah satu tradisi belajar yang dikembangkan ketika itu adalah pengembaraan intelektual: guru dan kebanyakan murid-murid menuntut ilmu dan mengembara dari satu surau ke surau lain atau dari satu pesantren ke pesantren lain untuk meningkatkan pengetahuan keislamannya. Mereka mengembara bukan hanya di sekitar Asia Tenggara, tetapi juga sangat mungkin ke India, Mekah, Madinah, dan Kairo atau tempat-tempat lain di Timur Tengah (Azyumardi Azra (ed.), 1989: xv-vi)
Salah satu perkembangan intelektual yang cukup menarik adalah dimulainya tradisi menulis. Kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu diantaranya kitab  Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Arraniri (1685) dari Aceh. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dari Kalimantan Selatan menjadi kitab Sabil al-Muhtadin. Kitab Sabil al-Muhtadin ini kemudian diberi syarah kembali oleh Daud al-Fatani (1847) dari Thailand dan diberi nama Bughyatat-Thullab. (Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, 1984 20)[12]

E.       Studi Islam di Berbagai Perguruan Tinggi di Dunia
Di Indonesia ada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) selain Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS). Ada fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Ada juga Fakultas Agama di Universitas umum. Di dalam fakultas Adab ada Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Di dalam Fakultas Dakwah ada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Manajemen Dakwah, Bimbingan dan Penyuluhan, dan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Di dalam Fakultas Syari’ah ada Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhsiyah), Siyasah dan Jinayat, Perbandingan Madzhab dan Hukum serta Jurusan Muamalat. Dalam Fakultas Tarbiyah ada Jurusan Pendidikan Agama Islam, Kependidikan Islam dan Bahasa Arab. Dalam Fakultas Ushuluddin terdapat Jurusan Tafsir Hadis, Perbandingan Agama, dan Aqidah dan Filsafat. Itulah bentuk-bentuk pengorganisasian Studi Islam yang ada sekarang di Indonesia.[13]
Kalau kita lihat, pengorganisasian studi Islam di negeri-negeri Islam lain juga ada variasi. Di Universitas Teheran, ada ruangan khusus yang menyimpan naskah-naskah kuno, yang ditulis oleh para pemikir klasik dan ditulis dalam bahasa Persia. Di universitas ini studu Islam dlakukan dalam satu fakultas yang disebut Kulliyat Ilahiyat (Fakultas Agama). Di Teheran juga ada universitas Imam Sadiq yang mempelajari Islam dan Ilmu umum sekaligus.
Di Universitas Damaskus, Syria, yang memiliki banyak fakultas umum, studi Islam ditampung dalam Kulliatal-Syari’ah (Fakultas Syari’ah), yang di dalamnya ada program studi ushuluddin, tasawuf, tafsir dan sejenisnya.
Di Aligarch University, India, studi Islam dibagi dua. Islam sebagai doktrin dikaji dalam Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan: Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Syi’ah. Sedangkan Islam sebagai sejarah dikaji pada Fakultas Humaniora dalam Jurusan Islamic Studies yang berdiri sejajar dengan Jurusan Politik.
Di Universitas Islam Internasional Malaysia, program studi Islam berada di bawah Kulliyah of Revealed Knowledge and Human Sciences (Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu Kemanusiaan).
Al-Azhar sampai tahun 1961 memiliki fakultas-fakultas seperti yang dimiliki IAIN. Setelah 1961, al-Azhar tidak lagi membatasi diri pada fakultas-fakultas agama, tetapi juga membuka fakultas-fakultas lain. Al-Azhar, disamping ada di Kairo, juga ada di daerah-daerah dan mempunyai program khusus untuk wanita dan laki-laki.[14]
Studi Islam di negeri-negeri non-Islam ada sedikit variasi. Di Chicago University, misalnya, studi Islam menekankan pada pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam non-Arab. Secara organisatoris, studi itu berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat. Di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya memang menekankan pada studi sejarah Islam, bahsa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, berada dibawah Pusat Studi Timur Tengah Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi kepada empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk sejarah pemikiran Islam. Kedua, bahasa Arab, termasuk teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non-Arab yang muslim, seperti Turki, Urdu, Persia dan sebagainya, sebagai bahasa yang dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan Islam. Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah, bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi dan semacamnya. Selain itu, ada kewajiban menguasai secara pasif satu atau dua bahasa Eropa.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies, fakultas mengenai studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program studi di dalamnya adalah program MA tentang masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke jenjang doktor.
Di Kanada, studi Islam bertujuan: pertama, menekuni kajian budaya dan peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer; kedua, memahami ajaran Islam dan masyarakat muslim di seluruh dunia; ketiga, mempelajari berbagai bahasa muslim seperti bahasa Persia, Urdu dan Turki.[15]



IV.    KESIMPULAN
Islam, tidak lepas dari figur masyarakat dan didalam masyarakatlah terdapat intereksi sosial yang melahirkan suatu budaya. Konsep pemahaman tentang Islam belum menemui titik temu antara insider dan outsider, oleh karena itu muncullah usaha untuk mempelajari dan mengkaji Islam lebih jauh yang kita kenal dengan Studi Islam.
Term Studi Islam berarti sangat luas, pengertian tersebut bisa dipergunakan dikalangan akademis secara free (bebas). Dalam uraian diatas terdapat tiga poin penting tentang Studi Islam, Pertama, studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program pengakajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya. Kedua, studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang dan kurikulum suatu kajian atas Islam. Ketiga, studi Islam yang dikonotasikan dengan instuisi-instuisi pengkajian Islam baik formal maupun yang non formal.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa-bangsa, yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, nampaknya studi tentang Islam menjadi sangat penting dan pendapatkan perhatian yang sangat luas, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di kalangan luar Islam. Urgensi studi Islam pada masa sekarang paling tidak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada di lingkungan umat Islam sendiri; sedangkan sisi eksternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya di luar kalangan umat Islam.
Studi Islam merupakan solusi agar Islam tidak mudah disalahpahami oleh outsider (non-muslim). Salah satu penyebab seringnya Islam disalahpahami Barat adalah karena mereka tidak memiliki instrumen yang secara ilmiah bisa dibenarkan oleh, tidak hanya, insider (muslim) tapi juga oleh outsider. Keterbukaan pikiran (open-minded) bagi setiap pengkaji Islam baik insider maupun outsider dan seringnya dialog antara outsider-insider maupun insider-outsider sangat penting. Keterbukaan dan dialog akan membantu tercapainya kesepahaman intelektual (intelectual understanding) antar semua pengkaji Islam.
Bergelut dengan Studi Islam, sama juga bergelut dengan situasi Sosial dan Budaya yang apabila dirunut lebih dalam termasuk dalam aspek sejarah. Kaitannya dengan aspek sosial, tidak lepas dari kata sosiologi. Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampak dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran.
Perkembangan Studi Islam di Indonesia bermula ketika Islam pertama kali memasuki wilayah Nusantara dengan berbagai tahapnya. Salah satu tradisi belajar yang dikembangkan ketika itu adalah pengembaraan intelektual: guru dan kebanyakan murid-murid menuntut ilmu dan mengembara dari satu surau ke surau lain atau dari satu pesantren ke pesantren lain untuk meningkatkan pengetahuan keislamannya. Dan salah satu perkembangan intelektual yang cukup menarik adalah dimulainya tradisi menulis.

V.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, sebagai insan yang banyak kekurangan, penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu tegur sapa dan kritik membangun menyangkut cara pembuatan makalah, saran dan masukan yang konstruktif sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir dari harapan penulis, semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya  untuk kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Fanani, Muhyar. 2008. Metode Studi Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Hayah, Ani (et.al.). 2010. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Metodologi Studi Islam. Semarang. Makalah Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin. 2008. Metodologi Studi Islam. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Thohir, Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.


[1] Ani Hayah, dkk., Pengertian dan Sejarah Perkembangan Metodologi Studi Islam, Makalah Metodologi Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Semarang, 2010, hlm.2
[2] Ibid, hlm.4
[3] Dr. Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. xiii
[4] Ibid, hlm. xiii-xiv
[5] Prof. Dr. H. Abudinn Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 39
[6] Ibid, hlm. 40
[7] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.57-58
[8] Prof. Dr. H. Abudinn Nata, M.A., Op.Cit, hlm. 49-50
[9] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Op.Cit, hlm. 38. Lebih lanjut baca “Pendekatan Studi Islam”, halaman 38-44.
[10] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 394-395.
[11] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A., dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 169
[12] Ibid, hlm. 170
[13] Dr.H.M. Atho Mudzhar, Loc.Cit, hlm. 24
[14] Ibid, hlm. 27-28
[15] Ibid, hlm. 24-25

METODE PEMAHAMAN ISLAM DI INDONESIA


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat komplek. Sehingga dalam memahaminya pun dibutuhkan cara yang tepat agar dapat tercapai suatu pemahaman yang utuh tentang Islam. Di Indonesia sejak Islam masuk pertama kali sampai saat ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang berbeda mengenai Islam. Sehingga dibutuhkanlah penguasaan tentang cara-cara yang digunakan dalam memahami Islam.
Maka, dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai metodologi serta beberapa hal yang berkaitan untuk memahami Islam di Indonesia.



B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Apakah metodologi itu?
2. Bagaimana keadaan Islam di Indonesia?
3. Bagaimanakah studi tentang Islam?
4. Metode-metode apa saja yang dapat digunakan dalam memahami Islam?

II. PEMBAHASAN
A. Metodologi
1. Pengertian metodologi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu metodos berarti cara atau jalan dan logos yang berarti ilmu. Dari kedua suku kata itu, metodologi berarti ilmu tentang jalan atau cara. Untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian metode. Dalam KBBI disebutkan bahwa metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa metode adalah urutan kerja yang sistematis, terencana, dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Lalu, yang dimaksud metodologi sendiri berarti ilmu tentang cara-cara untuk sampai pada tujuan. Menurut Hasan Langgulung, metodologi adalah cara-cara yang digunakan manusia untuk mencapai pengetahuan tentang realita atau kebenaran. Metodologi disebut pula sebagai science of methods yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan, atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi membahas konsep teoritik berbagai metode. Dalam metodologi dibicarakan tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Bila dalam metode tidak ada perdebatan, refleksi, dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu.
2. Kegunaan metodologi
Islam merupakan agama yang untuk memahaminya secara utuh, harus dilihat dari berbagai dimensi. Di Indonesia yang terdiri dari berbagai kebudayan dan berbagai kepentingan, Islam dipahami sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Sehingga terkesan bahwa pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif, namun hal itu belum tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi yang di dalamnya dibahas mengenai berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam. Agar studi Islam dapat tersusun secara sistematik dan disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang baik dan untuk membuat Islam lebih responsive dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hal ini, Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam pertumbuhan ilmu.
Ibarat akan pergi ke Jakarta dan berangkat dari Yogyakarta, maka metodologi merupakan kajian atas cara-cara yang bisa digunakan seperti naik sepeda motor, bus, kereta, ataupun pesawat terbang. Bila dihubungkan dengan studi Islam, metodologi merupakan kajian tentang metode-metode yang dapat digunakan untuk melaksanakan studi Islam.
Penguasaan terhadap metode sangatlah penting artinya dalam studi Islam. Kita dapat belajar banyak dari pengalaman keberhasilan penguasaan metode dan metodologi. Misalnya pada abad ke 4 dan ke 5 SM, banyak pemikir jenius yang tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang jenius abad 14, 15, dan 16 M. Aristoteles (384-322 SM), kata Mukti Ali, jauh lebih jenius dari Roger Bacon (214-294). Apa yang menyebabkan Bacon menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun tingkat kejeniusannya di bawah Aristoteles dan Plato? Sebabnya karena Bacon menemukan metode berfikir yang benar, yang dengan metode itu sekalipun kejeniusannya biasa saja ia dapat menemukan kebenaran sebagai pemikir jenius yang besar. Apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka mereka tidak dapat memanfaatkan kejeniusannya.
Dengan demikian, pemahaman mengenai metode yang tepat akan membawa studi Islam menjadi lebih memadai dan lebih dapat menghasilkan yang lebih baik. Sehingga, penguasaan terhadap metodologi harus ditekankan tanpa melupakan aspek penguasaan materi.


B. Islam dan Kebudayaan Indonesia
Jika berbicara masalah metodologi pemahaman Islam di Indonesia, tentu hal itu tidak mungkin terlepas dari sejarah pertama kali Islam masuk di Indonesia. Namun, kaitanya dalam sub bab ini, kita akan sedikit berbicara persoalan Islam dan kebudayaan di Indonesia saja. Kenapa harus kebudayan? Sebab, ketika kita berbicara tentang pemahaman Islam, terutama di Indonesia, maka sedikit banyak kita juga akan bersinggungan dengan budaya yang ada di Indonesia. Namun, dalam makalah ini hanya akan diurai sedikit tentang kebudayaan Jawa dan Melayu.
Implikasi dari masuknya Islam di Indonesia, setidaknya menyebabkan Indonesia mengalami dualisme kebudayaan. Yaitu kebudayaan keraton dan kebudayaan popular. Dua jenis kebudayaan ini sering kali dikategorikan sebagai kebudayaan tradisional. Pada dua jenis kebudayaan inilah pengaruh Islam terlihat begitu signifikan. Untuk lebih jelasnya, kita akan membahas pengaruh Islam terhadap kedua kebudayaan tersebut.
Pertama, adalah kebudayaan keraton. Yaitu kebudayaan yang dikembangkan oleh para abdi dalem atau para pegawai istana. Mulai dari para pujangga sampai arsitek. Pada ranah ini sang raja memiliki kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakannya itu berupa mitos. Hampir semua mitos berisi tentang kesaktian raja, kesucian, atau superinsani raja.
Efek yang ingin dicapai dari penciptaan mitos tersebut adalah agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja. Sebagai contoh dalam babad Jawa digambarkan bahwa raja adalah pemegang wahyu yang dengannya ia merasa sah untuk mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah rakyatnya.
Meskipun dalam keraton terdapat pengaruh Hinduisme, tetapi Islam pun cukup berpengaruh. Misalnya, klaim raja di Jawa untuk melegitimasikan kekuasaanya. Di satu sisi, ia menentukan silsilah yang menyatakan bahwa dirinya keturunan para dewa (Hinduisme), tetapi di sisi lain, ia juga mengaku sebagai keturunan para nabi (Islam).
Konsep kekuasaan Islam sungguh memiliki perbedaan yang jauh dengan konsep kekuasaan Jawa. Dalm kekuasaan Jawa, dikenal konsep raja absolute, Islam justru mengutamakan konsep Raja adil (al-Malik al-‘Adil). Akan tetapi, suatu hal yang perlu diketahui bahwa budaya keraton di luar Jawa punya konsep yang berbeda dengan konsep kebudayaan Jawa. Di Aceh misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-‘adil.
Kedua, adalah kebudayaan popular. Yaitu kebudayaan yang tidak dikembangkan dalam kereton. Namun, dalam kebudayaan popular juga sama terdapat mitos seperti pada kebudayaan kereton. Umpamanya, cerita Walisongo di pantai utara Jawa begitu terkenal. Karena kuatnya mitos yang terbangun, hingga sekarang ini kita mendengar adanya kiai sakti yang bias melakukan salat di Makkah setiap waktu, dan dalam waktu sekejap ia kembali ke pesantrennya. Begitu juga cerita tentang kiai yang berkhotbah dalam dua tempat pada waktu yang bersamaan. Pengaruh Islam dalam kebudayan dapat dilihat pada ekspresi ritual seperti upacara “pengiwahan”; agar manusia menjadi mulia (wiwoho), diadakanlah upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Selain itu, budaya Islami dapat dilihat dalam acara mauled, seni musik Qosidah dan gambus.
Selanjutnya, pengaruh Islam dalam budaya Melayu di Sulawesi Selatan antara lain tergambar dalam sulapa eppa’e. dimana dalam sulapa eppa’e dijelaskan tentang ajaran kepemimpinan. Seorang pemimpin akan sukses apabila memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani, ilmuwan, dan hartawan. Sahabat yang termasuk khulafaur rasyidin merupakan gambaran dari sifat-sifat tersebut. Abu Bakar al-Shidiq adalah simbol kejujuran, kebijaksanaan dan kesabaran; Umar bin Khathab adalah symbol keberanian dan keadilan; Ali bin Abi Thalib adalah symbol ilmuwan; dan Utsman bin Affan adalah symbol hartawan.
Tgk. H. Muslim Ibrahim menjelaskan sistem kesenian di Aceh. Menurutnya, hubungan antara seni, moral dan syari’at dalam Islam sangat erat karena seni berawal dari habl min Allah dan habl min al-nas. Oleh karena itu, kesenianAceh telah terpadu dengan Islam dan terwujud dalam berbagai cabang; sastra, seni tari, seni bangunan, dan seni pahat.
Itulah akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa. Budaya Melayu lebih mudah menerima Islam, sedangkan budaya Jawa tidak. Budaya keraton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi dengan budaya Islam sehingga para abdi dalem membuat suatu silsilah yang membuktikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, di sisi lain mereka juga mengaku keturunan para nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku sebagai wakil Tuhan untuk menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan mempertahankan status quo.

C. Studi Islam
Masih terdapat perdebatan di kalangan para ahli apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat-sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar masalh ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengataan jika penyelenggaraan dan penyampaian studi Islam hanya mendengarkan dakwah keagamaan di dalam kelas lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah? Sehingga menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidaklah salah.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa dari segi normatif sebagaimana yang terdapat di dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islamic Studies
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Studi Islam sangat penting karena sangat berperan dalam masyarakat. Studi Islam bertujuan untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi sebuah substantif keagamaan dan sikap enklusifisme menjadi sikap universalisme.
Secara garis besar, tujuan studi Islam adalah; pertama, mempelajari secara mendalam tentang hakikat Islam, bagaimana posisinya dengan agama lain, dan bagaimana hubungannya dengan dinamika perkembangan yang terus berlangsung.
Agama Islam diturunkan oleh Allah dengan tumuan untuk membimbing, mengarahkan, dan menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dan budaya umat manusia. Agama-agama dan budaya yang pada awalnya hanya berdasarkan kepada daya nalar dan tidak sedikit yang mengarah pada penyimpangan, diarahkan oleh Islam menjadi agama monoteisme yang benar. Namun demikian bukan berarti agama Islam tidak sesuai dengan akal budi. Justru dalam memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk mendayagunakan akal budinya secara maksimal, namun jangan sampai penggunaannya melampaui batas dan keluar dari rambu-rambu ajaran Allah.
Kedua, mempelajari secara mendalam terhadap sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan dinamis serta aktualisasinya sepanjang sejarah. Studi ini berdasar kepada asumsi bahwa agama Islam adalah agama samawi terakhir yang membawa ajaran yang bersifat final, mampu memecahkan persoalan kehidupan manusia, menjawab tantangan, dan senantiasa actual sepanjang masa. Namun demikian, aktualitas ajaran ini sering harus berhadapan dengan beraneka ragam permasalahan dan tantangan yang tidak kecil dan ringan. Pada kondisi semacam ini, studi Islam berusaha untuk memberikan kontribusinya dalam menjawab aneka persoalan dan tantangan yang ada.
Ketiga, mempelajari secara mendalam terhadap pokok isi ajaran Islam yang asli, dan bagaimana operasionalisasi dalam pertumbuhan budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarah.
Keempat, mempelajari secara mendalam terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran Islam dan bagaimana perwujudannya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini.

D. Metode Memahami Islam
Studi Islam tidak dapat dilakukan apabila Islam tidak dipahami secara menyeluruh. Menurut Nasruddin Razaq dalam Ali Anwar Yusuf, memahami Islam secara menyeluruh sangat penting walaupun tidak mendetail. Untuk itu, diperlukan pedoman-pedoman yang dapat dijadikan sandaran, patokan atau petunjuk dalam memahami Islam secara baik dan benar. Pedoman-pedoman tersebut mencakup :
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul, kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Kekeliruan dalam memahami Islam dapat terjadi karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Alquran dan as-Sunnah, atau melalui pengenalan dari kitab-kitab fiqih dan tasawuf . mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme yang telah tercampuri oleh hal-hal yang tidak Islami.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak secara parsial atau terpisah-pisah. Artinya Islam dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang utuh tidak secara sebagian saja. Sebab dengan memahami secara parsial akan menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan atau literatur yang ditulis oleh para ulama besar atau para sarjana yang benar-benar memiliki pemahaman Islam yang baik. Berkaitan dengan yang ketiga ini, timbul permasalahan dalam literature yang ditulis oleh kaum orientalis. Karena bagi mereka, Islam hanya sekedar dipahami yang kemudian dicari-cari kelemahannya. Berkenaan dengan hal tersebut, seseorang yang mempelajari Islam hendaklah bersikap kritis, selektif, dan penuh kehati-hatian serta telah kuat dalam memahami dan menjalankan dasar-dasar keislamannya.
Keempat, kesalahan sementara orang mempelajari Islam adalah dengan jalan mempelajari kenyataan umat Islam sendiri, bukan agamanya. Sikap konservatif sebagian golongan Islam, keawaman, kebodohan, dan keterbelakangan itulah yang dinilai sebagai Islam. Padahal yang sebenarnya tidak demikian, Islam mengajarkan kesatuan dan persatuan, kebersamaan, saling menolong, dan saling mengasihi.
Selanjutnya, Abuddin Nata menyatakan, dalam buku berjudul Tentang Sosiologi Islam karya Ali Syari’ati dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Apabila Islam ditinjau dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang sebenarnya bersegi banyak. Sehingga mengakibatkan kesulitan dalam pemahaman secara keseluruhan. Buktinya ialah Alquran. Kitab ini memiliki banyak dimensi. Satu dimensi misalnya, mengandung aspek-aspek linguistic dan sastra. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan. Alquran mengajak kita memahami Islam secara komprehensif. Berbagai aspek yang ada dalam Alquran jika dipahami secara keseluruhan akan menghasilkan pemahaman Islam yang menyeluruh.
Ali Syari’ati lebih lanjut menyatakan, ada berbagai cara dalam memahami Islam melalui metode perbandingan, yaitu :
1. Mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain.
2. Mempelajari kitab Alquran dan membandingkannya dengan kitab-kitab ajaran agama lainnya
3. Mempelajari kepribadian Rasulullah dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam sejarah.
4. Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran lain.
Selain menggunakan pendekatan perbandingan, ada cara lain dalam memahami Islam, yaitu dengan menggunakan pendekatan aliran. Pemahaman dengan pendekatan aliran menitik beratkan pada pemahaman Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia perseorangan maupun masyarakat.
Menurut Mukti Ali, terdapat metode lain dalam memahami Islam yaitu metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif, berisi klasifikasi topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Terdapat lima aspek atau ciri dari agama Islam, yaitu 1) aspek ketuhanan, 2) aspek kenabian, 3) aspek kitab suci, 4) aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.
Dari uraian-uraian di atas, secara garis besar ada dua macam metode untuk memahami Islam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang tampak dalam kenyataan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dengan memahami Islam sebagai agama yang mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normative yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militant pada Islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Sedangkan menurut Ali Anwar Yusuf dalam bukunya Studi Agama Islam, terdapat tiga metode dalam memahami agama Islam , yaitu:
1. Metode Filosofis
Filsafat adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan sedalam-dalamnya sejauh jangkauan kemampuan akal manusia, kemudian berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Memahami Islam melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan tidak memiliki makna apa-apa atau kosong tanpa arti. Namun bukan pula menafikan atau menyepelekan bentuk ibadah formal, tetapi ketika dia melaksanakan ibadah formal disertai dengan penjiwaan dan penghayatan terhadap maksud dan tujuan melaksanakan ibadah tersebut.
2. Metode Historis
Metode historis ini sangat diperlukan untuk memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan sangat berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Melalui metode sejarah, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya dan hubungannya dengan terjadinya suatu peristiwa.
3. Metode Teologi
Metode teologi dalam memahami Islam dapat diartikan sebagai upaya memahami Islam dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari satu keyakinan. Bentuk metode ini selanjutnya berkaitan dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang Islam dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Metodologi berarti ilmu tentang cara-cara untuk sampai pada tujuan.
2. Metodologi dalam hal pemahaman Islam digunakan untuk mengetahui metode-metode yang tepat agar dapat diperoleh hasil yang utuh dan objektif dalam pemahaman Islam.
3. Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya menyebabkan Islam dipahami sesuai dasar keyakinan masyarakatnya.
4. Studi Islam sangat penting karena sangat berperan dalam masyarakat. Studi Islam bertujuan untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama.
5. Dalam memahami Islam dapat digunakan beberapa metode, di antaranya metode filosofis, historis, dan teologis.

IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon dimaafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera dalam makalah ini dapat membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Ilmu Kontemporer. Jakarta: Amzah
Hakim, Tatang Abdul dan Jaih Mubarok. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras
Nata, Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Ed. Revisi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
____________, dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Yusuf, Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam untuk Perguruan Tinggi UmumI. Bandung: CV Pustaka Setia

Selasa, 28 September 2010

AlhamduliLlah

Kami segenap jajaran pengurus negara mengucapkan selamat atas dilauncingnya blogspot tm2008

Comments